Rabu, 28 Desember 2011

pencatatan Al-quran pada masa usman bin affan


Pencatatan Al-Qur’an di Masa Utsman bin Affan (Bag. III)
oleh Belajar Ilmu Al-Qur'an pada 20 Oktober 2009 pukul 2:01
Keharusan Pencatatan Al-Qur’an di Era Ustman
Setelah Abu bakar wafat, kemudian pemerintahan diteruskan oleh Umar bin Khattab, yang memerintah selama 10 tahun. Wilayah kekuasaan Islam dibawah pimpinan Umar bin Khattab semakin luas, termasuk daerah non Arab.
Khalifah Umar wafat pada tahun 23 hijri, kemudian digantikan oleh Ustman sebagai penganti Umar bin Khattab dan tercatat sebagai khalifah ke 3 setelah wafatnya Rasulullah Saw.

Meluasnya Daerah Kekuasaan Islam
Dalam masa pemerintahan Ustman bin Affan, terdapat beberapa masalah pelik yang harus segera dituntaskan, termasuk diantaranya pencatatan ulang Al-Qur’an untuk kedua kalinya.
Meluasnya wilayah di bawah pimpinan Khlaifah Umar sebelumnya memberi peluang kepada para sahabat untuk berbondong-bondong mendatangi daerah penaklukan untuk memgajarkan Islam dan membaca Al-Qur’an. Ataupun banyak diutus seorang pengajar ke daerah baru di wilayah Islam baik ketika di bawah pimpinan Khalifah Umar maupun di bawah pemerintahan Ustman bin Affan.
Ada akibat lain yang ditimbulkan dari pengajaran baik oleh sebagian sahabat maupun pengajar lainnya, yaitu berbedanya cara membaca Qur’an ( Qira’ah; Al-Qur’an memiliki ragam membacanya yang disebut dengan Qira’ah Sab;ah, Qira’ah tujuh. Pen. ada pembahasan tersendiri).
Sehingga pada akhirnya ejekan itu semakin meruncing dan tidak jarang saling meng-kafirkan satu sama lainnya.
Akibatnya sering terjadi perselihan antara murid seseorang dengan murid lainnya karena masing-masing berbeda dalam membaca Al-Qur’an.
Sebenarnya para sahabat sendiri yang melihat langsung Nabi baik cara membacanya maupun meyaksikan twahyu, sudah biasa dan mengerti bahwa Al-Qur’an diturunkan dengan tujuh huruf (tujuh macam qira’ah) dan mereka menegerti bahwa semuanya bersumber dari ajaran Nabi sendiri, Sehingga tidak ada perselisihan diantara mereka mengenai keragaman bacaan Qur’an ini.
Namun ketika meluasnya daerah Islam, diantaranya ditataklukannya Armenis dan Azerbijan (Asia Tengah), dan mulainya bangsa Ajam (non Arab) memeluk Islam. Timbulah masalah baru, bahwa mereka adalah generasi yang tidak pernah bertemu dengan Nabi. Dan ketika mereka belajar Qur’an mereka menganggap bahwa bacaan Qur’an itu hanya satu. Akibatnya ketika mereka menemui bacaan berbeda selain dari yang mereka pelajari, timbulah perbedaan pendapat. Karena masing-masing pihak menganggap bahwa bacaanya lah yang paling benar. Tidak jarang mereka saling mengkafirkan dan tidak sedikit berujung pada pertengkaran.

Keprihatinan Para Sahabat
Hudzaifah Bin Yaman salah seorang sahabat yang ikut menaklukan Armenia dan Azaerbijan sangat perihatin melihat pertengkaran disebabkan adanya perbedaan membaca Qur’an. Keprihatinannya ini timbul setelah inpeksi mendadak ke dua daerah ini. Bukan hanya ia yang merasa miris melihat fenomena ini, bahkan sahabat lainnya sangat sedih. Dimana antara sahabat dengan sahabat lainnya, yang nota bene murid-murid Rasulullah, sangat menghormati perbedaan pendapat. Namun demikian perbedaan pendapat ini tidak pernah membuat mereka saling bermusuhan apalagi saling mengkafirkan.
Setelah melihat kenyataan di lapangan bahwa banyak terjadi pertikaian disebabkan masalah sepele, yaitu perbedaan bacaan Qur’an, Hudzaifah langsung menghadap khalifah untuk segera melapor apa yang menjadi temuannya di lapangan.
Setelah adanya musyawarah antara khalifah dan sahabat lainnya, maka sang khalifah mengeluarkan KEPKHA (keputusan Khalifah), bahwa keharusan penyalinan ulang lembaran-lembaran yang sudah ada , yaitu Mushaf Abu Bakar dengan menyempurnakan bacaan pada satu huruf saja (satu qira’ah saja).
Dengan demikian mulailah pencatatan Al-Qur’an untuk kedua kalinya di era pemerintahan Utsman bin Affan.

Pembentukan Komite
Keputusan khalifah Utsman disepakati oleh para sahabat, yang inti kesepakatan ini adalah membukukan mushaf baru dari contoh mushaf yang ada, kemudian tulisan (khat/rasm) ini mencakup tujuh bacaan Qur’an namun penulisannya hanya menggunakan satu bentuk bacaan saja. Mushaf ini tidak saja dibukukan dalam satu buku, namun beberapa buah yang akan disebar ke setiap daerah untuk menseragamkan bacaan. Mushaf ini kemudian dikenal dengan nama Mushaf Imam.
Dibentuklah sebuah tim beranggotakan 12 orang yang berasal dari dua golongan, yaitu dari kalangan Quraisy, yang dipimpin oleh Zaid bin Tsabit dan dari kalangan Anshar, yaitu Ubay bin Ka’ab.
Dalam satu riwayat hanya terdapat 9 nama dalam tim yang berjumlah 12 orang yaitu:
1. Zaid bin Tsabit
2. Abdullah ibn Zubair
3. Sa’id ibn Ash
4. Abdurahman ibn Harits ibn Hisyam
5. Ubay ibn Ka’ab
6. Anas ibn Malik
7. Abdullah Ibn Abbas
8. Malik Ibn Abi ‘Amir
9. Katsir Ibn Aflah


Metode Dalam Pembukuan Al-Qur’an
Ada beberapa metode yang ditempuh dalam pembukuan Al-Qur’an oleh Ustman bin Affan, yaitu:
·  Berpegang teguh pada mushaf Qur’an yang sudah ada, yaitu Mushaf Abu Bakar yang tersimpan di Hafsah, puteri Umar bin Khattab. Pedoman Ustman ini sangat beralasan karena tulisan dalam Mushaf Abu Bakar berasal dari catatan sahabat yang ditulis ketika Rasulullah masih hidup begitu pula berasal dari hafalan para sahabat. Dengan demikian jelas sekali bahwa mushaf Utsman nantinya sama seperti yang terdapat dalam mushaf Abu Bakar dan begitu pula mushaf Abu Bakar sama seperti yang tertulis dalam mushaf Ustman. Pedoman ini tidak memungkinkan adanya anggapan bahwa mushaf Ustman itu akan berbeda seperti yang terdapat dalam mushaf Abu Bakar.
·  Pembukuan Al-Qur’an ini adalah proyek Negara karena perintah langsung khalifah. Anggota tim nya pun melibatkan kalangan Qurasiy dan Anshar yang berjumlah 12 orang yang diangkat langsung oleh khalifah. Berbeda dengan pencatatan Qur’an di era Abu Bakar yang merupakan perintah pribadi dan bukan proyek Negara meskipun dalam pencatatanya sangat ketat dan teliti
·  Utsman pun memerintahkan agar orang-orang yang mempunyai catatan Qur’an, hafalan atau apa saja yang memudahkan proses pencatatan Qur’an ini agar segera diserahkan kepada tim untuk diproses dan di teliti
·  Ketika ada perbedaan dalam dialek, maka diharuskan menggunakan dialek Quraisy.
Tidak ditulis ayat-ayat yang telah dihapus bacaannya (mansukh), qira’ah yang berasal dari riwayat Ahad, footnote yang tertulis di beberapa catatan Qur’an milik Sahabat dan lain sebagainnya.

Mushaf ini harus mencakup semua bacaan (qira'ah) Al-Qur'an dengan cara sebagai berikut:
Ketika menuliskan satu huruf yang bisa dibaca beberapa qira'ah yang mutawatir, maka huruf ini hanya ditulis satu macam saja. Seperti dalam Surat Al-Baqarah ayat 259 yang berbunyi:
KAIFA NUNGSYIZUHA...
Huruf ZI..oleh Abu Ja'far, Nafi', Ibnu Katsir, Abu :amir dan Ya'qub dibaca..NUNGSYIRUHA..dengan huruf RO..

Dan contoh lainya. (Contoh-contoh seharusnya menggunakan huruf Qur'an agar lebih jelas)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar